Tampilkan postingan dengan label Kutipan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kutipan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 25 Maret 2012

DBD (Demam Berdarah Dengue)


Kriteria Kerja KLB (Kejadian Luar Biasa)


1. Definisi KLB

KLB sama dengan wabah adalah terjadinya sejumlah kasus penyakit, yang diketahui atau diduga disebabkan oleh infeksi atau infestasi parasit yang melampau jumlah wajar atau yang tidak selayaknya ada ditempat atau pada waktu tertentu. Yang membedakan antara KLB dan wabah yaitu KLB tanpa ada pernyataan dari Menteri Kesehatan

2. Kriteria Kerja KLB:
  • Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada/tidak dikenal
  • Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
  • Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali atau lebih dibanding dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun)
  • Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya
  • Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan dua  kali lipat atau lebih dibanding dengan angka rata-rata perbulan dari tahun sebelumnya.
  • CFR dari suatu penyakit dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50 % atau lebih dibanding dengan CFR dari periode sebelumnya.
  • Proportional Rate (PR) penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan dua kali atau  lebih dibanding periode yang sama dan kurun waktu/tahun sebelumnya
  • Beberapa penyakit khusus: cholera, DHF/DSS: 
    • Setiap peningkatan kasus dari periode sebelumnya (pada daerah endemis)
    • Terdapat satu atau lebih penderita baru dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari penyakit yang bersangkutan.
  • Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita:
    • Keracunan makanan
    • Keracunan Pestisida

Kriteria kerja untuk penentuan Kejadian Luar Biasa (KLB) seperti tersebut diatas sebagai pedoman untuk pelaksanaan tugas.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kadar Hemoglobin dari Segi Asupan Makanan


a.  Budaya pangan:
Kegiatan budaya suatu keluarga, suatu kelompok masyarakat, suatu negara mempunyai pengaruh yang kuat terhadap apa, kapan dan bagaimana penduduk makan.
b.  Pola makanan
Di beberapa daerah pedesaan di Asia Tenggara umumnya makan satu atau dua kali sehari. Cara penyiapan pangan secara tradisional, biasanya tidak menggunakan bahan bakar dan cenderung mempertahankan zat gizi yang terdapat dalam pangan.
c.  Pembagian makanan dalam keluarga
Kekurangan pangan dalam rumah tangga akan menyebabkan kecukupan gizi anggota keluarga terganggu. Kekurangan pangan yang kronik akan berpengaruh terhadap kadar hemoglobin.
d.  Besar keluarga
Banyaknya anggota dalam suatu keluarga akan mempengaruhi pemenuhan gizi keluarga tersebut.
e.  Faktor pribadi
Faktor pribadi dan kesukaan yang mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi penduduk.
f.  Pengetahuan gizi
Pengetahuan yang kurang menyebabkan bahan makanan bergizi yang tersedia tidak dikonsumsi secara optimal. Kesalahan pemilihan bahan makanan dan pola makan yang salah, cukup berperan dalam terjadinya anemia (Depkes RI, 2003).  
g.  Tampilan
Suatu bahan makanan dianggap memenuhi selera atau tidak, tergantung tidak hanya pada pengaruh sosial dan budaya tetapi juga dari bentuk makanan secara fisik.
h.  Status kesehatan
Tingkat konsumsi pangan adalah suatu bagian penting dari status kesehatan seseorang.
i.   Segi psikologi
Sikap manusia terhadap makanan banyak dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman dan respon-respon yang diperlihatkan oleh orang lain terhadap makanan sejak masa kanak-kanak.
j.   Kepercayaan terhadap Makanan
Manusia selalu berpikir dalam menentukan menu dari makanan yang akan dikonsumsi. Bahwa makanan tertentu akan memberikan dampak bagi tubuh mereka (Irianti, 2008).

Prinsip Dasar Kesehatan Kerja


Rapid Survey (Survey Cepat)


Pengolahan Sampah


      Pengolahan sampah adalah perlakuan terhadap sampah yang bertujuan memperkecil atau menghilangkan masalah-masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Dalam ilmu kesehatan lingkungan, suatu pengolahan sampah dianggap baik jika sampah yang diolah tidak menjadi tempat berkembang biaknya bibit penyakit serta tidak menjadi perantara penyebarluasan suatu penyakit. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah tidak mencemari udara, air, atau tanah, tidak menimbulkan bau, dan tidak menimbulkan kebakaran (Azwar, 1990).

Pada penelitian ini dikemukakan tiga jenis alternatif teknologi pengolahan sampah yang dapat digunakan dalam pengolahan sampah di Jakarta Timur, yakni: pengomposan, incenerator, dan tempat penimbunan akhir sampah (TPA) secara sanitary landfill. Berikut uraian mengenai hal-hal yang terkait dengan ketiga jenis alternatif teknologi pengolahan sampah tersebut.

A. PENGOMPOSAN (COMPOSTING)

Uraian mengenai proses pengomposan berikut ini bersumber dari Suriawiria (1996). Pengomposan merupakan salah satu contoh proses pengolahan sampah secara aerobik dan anaerobik yang merupakan proses saling menunjang untuk menghasilkan kompos. Sampah yang dapat digunakan dengan baik sebagai bahan baku kompos adalah sampah organik, karena mudah mengalami proses dekomposisi oleh mikroba-mikroba.

Proses dekomposisi senyawa organik oleh mikroba merupakan proses berantai. Senyawa organik yang bersifat heterogen bercampur dengan kumpulan jasad hidup yang berasal dari udara, tanah, air, dan sumber lainnya, lalu di dalamnya terjadi proses mikrobiologis. Beberapa hal yang harus diperhatikan agar proses tersebut berjalan lancar adalah perbandingan nitrogen dan karbon (C/N rasio) di dalam bahan, kadar air bahan, bentuk dan jenis bahan, temperatur, pH, dan jenis mikroba yang berperan di dalamnya. 

Indikator yang menunjukkan bahwa proses dekomposisi senyawa organik berjalan lancar adalah adanya perubahan pH dan temperatur. Proses dekomposisi akan berjalan dalam empat fase, yaitu mesofilik, termofilik, pendinginan, dan masak. Hubungan diantara keempat fase tersebut sebagai berikut:

1. Pada proses permulaan, media mempunyai nilai pH dan temperatur sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada, yaitu pH + 6.0 dan temperatur antara 18 - 22 derajat Celcius

2. Sejalan dengan adanya aktifitas mikroba (khususnya bakteri indigenousi) di dalam bahan, maka temperatur mulai naik, dan akhirnya akan dihasilkan asam organik

3. Pada kenaikan temperatur diatas 40 derajat Celcius, aktifitas bakteri mesofilik akan terhenti, kemudian diganti oleh kelompok termofilik. Bersamaan dengan pergantian ini, amoniak dan gas nitrogen akan dihasilkan, sehingga nilai pH akan berubah kembali menjadi basa

4. Kelompok jamur termofilik, yang terdapat selama proses, akan mati akibat kenaikan temperatur diatas 60 derajat Celcius. Selanjutnya akan diganti oleh kelompok bakteri dan actinomycetes termofilik sampai batas temperatur +86 derajat Celcius.

5. Jika temperatur maksimum sudah tercapai serta hampir seluruh kehidupan di dalamnya mengalami kematian, maka temperatur akan turun kembali hingga mencapai kisaran temperatur asal. Fase ini disebut fase pendinginan dan akhirnya terbentuklah kompos yang siap digunakan. 

Beberapa faktor, baik biotik maupun abiotik yang mempengaruhi proses pengomposan, antara lain:

1. Pemisahan bahan. Bahan-bahan yang sekiranya lambat atau sukar didegradasi harus dipisahkan. Bahan-bahan tersebut dapat berupa logam, batu, plastik dan sebagainya. Bahkan bahan-bahan tertentu yang bersifat toksik serta dapat menghambat pertumbuhan mikroba, antara lain residu pestisida, harus benar-benar dibebaskan dari dalam timbunan bahan baku kompos.

2. Bentuk bahan. Lebih kecil dan homogen bentuk bahan, maka proses pengomposan akan berjalan lebih cepat dan baik. Karena lebih kecil dan homogen bahan baku kompos, lebih luas permukaan bahan yang dapat dijadikan substrat bagi aktifitas mikroba. Juga pengaruhnya terhadap kelancaran difusi oksigen yang diperlukan serta pengeluaran CO2 yang dihasilkan. 

3. Nutrien. Aktifitas mikroba di dalam tumpukan sampah memerlukan sumber nutrien karbohidrat, antara 20%-40% karbohidrat yang digunakan akan diasimilasikan menjadi komponen sel dan CO2.

4. Kadar air bahan. Kadar air bahan bergantung pada bentuk dan jenis bahan, namun optimum pada kisaran 50% hingga 70%, terutama selama proses fase pertama. Kadang-kadang dalam keadaan tertentu, kadar air bahan bisa bernilai sampai 85%, misal pada jerami. 

B. PEMBAKAR SAMPAH (INCINERATOR)

Pembakaran sampah dengan menggunakan incenerator adalah salah satu cara pengolahan sampah, baik padat maupun cair. Didalam incenerator, sampah dibakar secara terkendali dan berubah menjadi gas (asap) dan abu. Dalam proses pembuangan sampah, cara ini bukan merupakan proses akhir. Abu dan gas yang dihasilkan masih memerlukan penanganan lebih lanjut untuk dibersihkan dari zat-zat pencemar yang terbawa, sehingga cara ini masih merupakan intermediate treatment.

Salah satu kelebihan incenerator menurut Salvato (1982) adalah dapat mencegah pencemaran udara dengan syarat incenerator harus beroperasi secara berkesinambungan selama enam atau tujuh hari dalam seminggu dengan kondisi temperatur yang dikontrol dengan baik dan adanya alat pengendali polusi udara hingga mencapai tingkat efisiensi, serta mencegah terjadinya pencemaran udara dan bau.

Kelebihan incenerator sebagai alat pengolah sampah juga dikemukakan oleh Sidik et al.(1985), yaitu meskipun incenerator masih belum sempurna sebagai sarana pembuangan sampah, akan tetapi terdapat beberapa keuntungan sebagai berikut:

1. Terjadi pengurangan volume sampah yang cukup besar, sekitar 75% hingga 80% dari sampah awal yang datang tanpa proses pemisahan.

2. Sisa pembakaran yang berupa abu cukup kering dan bebas dari pembusukan

3. Pada instalasi yang cukup besar kapasitasnya (lebih besar dari 300 ton/hari) dapat dilengkapi dengan peralatan pembangkit listrik

Menurut Sidik et al. (1985), sistem incenerator pada dasarnya terdiri atas dua macam, yaitu: 

1. Sistem pembakaran berkesinambungan. Sistem ini menggunakan gerakan mekanisasi dan otomatisasi dalam kesinambungan pengumpanan sampah ke dalam ruang bakar (tungku) dan pembuangan sisa pembakaran. Sistem ini umumnya dilengkapi fasilitas pengendali pembersih sisa pembakaran untuk membersihkan abu dan gas. Sistem ini dapat digunakan untuk instalasi dengan kapasitas besar (lebih besar dari 100 ton/hari) dan beroperasi selama 24 jam atau 16 jam per hari.

2. Sistem pembakaran terputus. Sistem ini umumnya sederhana dan mudah dioperasikan. Digunakan untuk kapasitas kecil (kurang dari 100 ton/hari). 
Biasanya beroperasi kurang dari 8 jam per hari. Cara kerjanya terputus-putus dalam arti bila sampah yang sudah dibakar menjadi abu, maka untuk pembakaran berikutnya abu tersebut harus dikeluarkan lebih dahulu. Setelah bersih, baru dapat dilakukan pembakaran sampah selanjutnya.

Proses yang terdapat pada incenerator pada dasarnya terdiri atas enam tahap, yaitu:
1. Proses pembakaran
2. Poses pengolahan abu
3. Proses pendinginan gas
4. Poses pengolahan gas
5. Proses pengolahan air kotor, dan
6. Proses pemanfaatan panas.
Proses tersebut menunjukkan bahwa pengolahan sampah dengan incenerator dilakukan dengan memperhatikan aspek keamanan terhadap lingkungan. 

C. TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH = TPA (LANDFILL)

Menurut Sidik et al. (1985), pengolahan sampah metoda pembuangan akhir dilakukan dengan teknik penimbunan sampah. Tujuan utama penimbunan akhir adalah menyimpan sampah padat dengan cara-cara yang tepat dan menjamin keamanan lingkungan, menstabilkan sampah (mengkonversi menjadi tanah), dan merubahnya kedalam siklus metabolisme alam. Ditinjau dari segi teknis, proses ini merupakan pengisian tanah dengan menggunakan sampah.

Lokasi penimbunan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan 
2. Mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah 
3. Aman terhadap lingkungan sekitarnya.

Ada dua teknik yang dikemukakan oleh Salvato (1982) yang termasuk dalam kategori TPA, yaitu teknik open dumping dan sanitary landfill. Teknik open dumping adalah cara pembuangan sampah yang sederhana, yaitu sampah dihamparkan di suatu lokasi dan dibiarkan terbuka begitu saja. Setelah lokasi penuh dengan sampah, maka ditinggalkan. Teknik ini sering menimbulkan masalah berupa munculnya bau busuk, menimbulkan pemandangan tidak indah, menjadi tempat bersarangnya tikus, lalat, dan berbagai kutu lainnya, menimbulkan bahaya kebakaran, bahkan sering juga menimbulkan masalah pencemaran air. Oleh karena itu, teknik open dumping sebaiknya tidak perlu dikembangkan, melainkan diganti dengan teknik sanitary landfill. 

Teknik sanitary landfill adalah cara penimbunan sampah padat pada suatu hamparan lahan dengan memperhatikan keamanan lingkungan karena telah ada perlakuan terhadap sampah. Pada teknik ini sampah dihamparkan hingga mencapai ketebalan tertentu lalu dipadatkan untuk kemudian dilapisi dengan tanah dan dipadatkan kembali. Pada bagian atas timbunan tanah tersebut dapat dihamparkan lagi sampah yang kemudian ditimbun lagi dengan tanah. Demikian seterusnya hingga terbentuk lapisan-lapisan sampah dan tanah. Pada bagian dasar dari konstruksi sanitary landfill dibangun suatu lapisan kedap air yang dilengkapi dengan pipa-pipa pengumpul dan penyalur air lindi (leachate) serta pipa penyalur gas yang terbentuk dari hasil penguraian sampah-sampah organik yang ditimbun.

Menurut Sidik et al. (1985) penimbunan sampah yang sesuai dengan persyaratan teknis akan membuat stabilisasi lapisan tanah lebih cepat dicapai. Dasar dari pelaksanaannya adalah meratakan setiap lapisan sampah, memadatkan sampah dengan menggunakan compactor, dan menutupnya setiap hari dengan tanah yang juga Dipadatkan. Ketebalan lapisan sampah umumnya sekitar 2 meter, namun boleh juga lebih atau kurang dari 2 meter bergantung pada sifat sampah, metoda penimbunan, peralatan yang digunakan, topografi lokasi penimbunan, pemanfaatan tanah bekas penimbunan, kondisi lingkungan sekitarnya, dan sebagainya. Adapun fungsi lapisan penutup tersebut sebagai berikut: 
1. Mencegah berkembangnya vektor penyakit 
2. Mencegah penyebaran debu dan sampah ringan 
3. Mencegah tersebarnya bau dan gas yang timbul 
4. Mencegah kebakaran 
5. Menjaga agar pemandangan tetap indah 
6. Menciptakan stabilisasi lokasi penimbunan sampah 
7. Mengurangi volume lindi

Hal yang sangat penting diperhatikan sehubungan dengan pembangunan TPA dengan teknik sanitary landfill adalah kemungkinan timbulnya pencemaran lingkungan di areal TPA tersebut.

Sidik et al. (1985) mengatakan bahwa ada beberapa jenis pencemaran di lahan penimbunan sampah (TPA) yaitu: 
1. Air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen-komponen hasil penguraian sampah.

2. Pembentukan gas. Penguraian bahan organik secara aerobik akan meghasilkan gas CO2, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3. Gas CH4 perlu ditangani karena merupakan salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar. Sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.

Sanitasi Lingkungan


Sanitasi adalah pencegahan penyakit dengan mengurangi atau mengendalikan faktor-faktor lingkungan fisik yang berhubungan dengan rantai penularan penyakit. Pengertian lain dari sanitasi adalah upaya pencegahan penyakit melalui pengendalian faktor lingkungan yang menjadi mata rantai penularan penyakit (Depkes, 2002). 

WHO dalam Sasimartoyo (2002) memberikan batasan sanitasi, yaitu pengawasan penyediaan air minum masyarakat, pembuangan tinja dan air limbah, pembuangan sampah, vektor penyakit,  kondisi perumahan, penyediaan dan penanganan makanan, kondisi   atmosfer   dan   keselamatan   lingkungan   kerja. Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada   di sekitar manusia, Abaik berupa benda hidup, benda mati, benda nyata atau abstrak, termasuk manusia lainnya serta suasana yang terbentuk karena terjadinya interaksi antara elemen-elemen yang ada di alam (Slamet, 1994).

Menurut (Entjang, 2000) bahwa sanitasi lingkungan adalah pengawasan lingkungan fisik, biologis, sosial dan ekonomi yang mempengaruhi kesehatan manusia, dimana lingkungan yang berguna ditingkatkan dan diperbanyak sedangkan yang merugikan diperbaiki atau dihilangkan. Pada prinsipnya usaha sanitasi bertujuan untuk menghilangkan sumber-sumber makanan (food preferences), tempat perkembangbiakan (breeding places) dan tempat tinggal (resting places) yang sangat dibutuhkan vektor dan binatang pengganggu (Depkes, 1990). Sanitasi lingkungan merupakan upaya pengendalian terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia yang dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan atau upaya kesehatan untuk memelihara dan  melindungi kebersihan lingkungan dari subjeknya, misalnya menyediakan air  bersih untuk mencuci tangan dalam memelihara dan melindungi kebersihan tangan, menyediakan tempat sampah untuk membuang sampah dalam memelihara kebersihan lingkungan, membangun jamban untuk tempat membuang kotoran dalam memelihara kebersihan lingkungan dan menyediakan air yang memenuhi syarat  kesehatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat. 

Pentingnya lingkungan yang sehat ini telah dibuktikan WHO dengan penyelidikan-penyelidikan di seluruh dunia dimana didapatkan hasil bahwa angka kematian (mortality), angka kesakitan (morbidity) yang tinggi serta seringnya terjadi epidemi, terdapat di tempat yang sanitasi lingkungannya buruk, yaitu tempat yang terdapat banyak lalat, nyamuk, pembuangan kotoran dan sampah yang tidak teratur, air rumah tangga dan perumahan yang buruk serta keadaan sosial ekonomi rendah. Sebaliknya, di tempat-tempat yang kodnsi sanitasi lingkungannya baik, angka kematian dan kesakitan juga rendah (Entjang, 2000). 

Dampak B3 terhadap Kesehatan


LINGKUNGAN


Program pembangunan kesehatan yang dilaksanakan telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat secara cukup bermakna, walaupun masih dijumpai berbagai masalah dan hambatan yang akan mempengaruhi pelaksanaan pembangunan kesehatan. Salah satu fenomena utama yang berpengaruh terhadap pembangunan kesehatan adalah perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap derajat dan upaya kesehatan.

Daftar Blog Saya